Kembali Dalam Balutan Rindu



Ketika kau menyaksikan iklan-iklan televisi bernuansa Ramadhan, dengan seketika perasaan rindu akan kampung halaman tiba-tiba menyeruak. Tanpa memberi isyarat, tanpa tanda-tanda, rasa itu kemudian muncul dengan sendirinya. Entah kenapa saya dengan begitu mudah teringat pada keluarga, teman, orang yang kucintai, serta orang yang dekat denganku hanya dikarenakan iklan televisi.

Mencoba melawan pikiran, saya rasa semakin saya pikir akan semakin menyiksa. Kualihkan pikiran dengan mengingat-ingat apa yang telah kulakukan hari ini dan apa yang belum aku selesaikan. Aku tidak ingin terlalu mudah untuk memikirkan itu semua. Sebentar lagi juga akan libur panjang, dan sudah tak sabar rasanya aku untuk pulang.

Saya kemudian duduk dipinggir jalan sebelum hal-hal yang tak terduga kembali muncul. Sore hari adalah waktu yang sangat tepat untuk sekedar melihat orang berlalu-lalang di jalan sambil membiarkan waktu berlalu begitu saja. Memperhatikan orang-orang sekitar dan berharap salah satu dari mereka kemudian menyapaku. Bukan membuang waktu, melainkan menciptakan waktu. Setiap detik yang berlalu adalah jawaban atas semua pertanyaan kapan.

Sore ini hujan turun membahasahi kota Makassar. Sial, hal yang seperti ini membuatku kembali teringat padamu. Sudah lama rasanya aku tidak menulis tentangmu lagi, aku cemas. Umm... mencemaskanmu mungkin salah. Tapi aku mungkin lebih akan menyesal jika aku tidak melakukannya.

Entah bagaimana kabarmu sekarang, terakhir kali kudengar banyak lelaki yang ingin mendekatimu. Mereka semua berlomba-lomba untuk mencintamu, namun ujung-ujungnya mereka terlihat tolol. Begitu pun denganku. Kapan kau berhenti menjadi fatamorgana? Kenapa kau tak terwujud saja. Akankah kau hanya menjadi salah satu dari ribuan doaku yang tak terwujud.

Perihal doa, ini adalah bulan ramadhan. Kiranya kali ini Tuhan bisa mendengarnya, mengabulkannya, sehingga mempersatukan kita. Kalaupun doaku terlalu tinggi. Rendahkan aku dengan hati-hati. Kini aku mengitarimu dengan doa, semoga itu menenangkanmu. Saat ini aku hanya mampu begitu.

Datik demi detik berlalu, tanpa terasa sebentar lagi tiba waktu untuk berbuka puasa seiring dengan redanya hujan hari ini. Dari arah barat matahari yang masih bersembunyi di balik awan sudah ingin menenggelamkan dirinya di langit kotaku. Dari arah timur burung-burung beterbangan sambil menyambut malam hari. Dan dari segala arah masjid-masjid bersahutan memutar lantunan ayat suci Al-Quran yang merdu dan menenangkan. Tak lupa hiasan pelangi, sebuah  kolaborasi yang sangat sempurna sore ini.

“Allahuakbar Allahuakbar...” Kumandang adzan menggema. Burung-burung yang tadinya bergerombolan, berkicauan, bermain-main di atas langit mungkin juga sudah kembali kesarangnya. Apakah mereka juga ingin berbuka puasa? Apakah burung-burung tadi sedang ngabuburit? Apakah memang para hewan juga berpuasa? Aku tertawa dalam hati.

Aku mengira jika para hewan ikut berpuasa, tikus-tikus dalam tempat sampah beragama, burung-burung bertakbir dengan kicauannya, kucing-kucing yang kita pelihara berakhlak, anjing dan binatang lainnya memiliki kepercayaan masing-masing, masihkan kita pantas disebut sebagai manusia? Huh?

Aku bergegas berbuka puasa, bukan makanan yang manis-manis sebagaimana yang disunnahkan Rasullullah SAW. Melainkan hanya seteguk air putih untuk menghilangkan dahaga, kemudian dilanjutkan dengan makanan pokok untuk mengisi perut yang mungkin juga sudah rindu dengan makanan. Sebuah menu standar buka puasa bagi mahasiswa kost.

Dalam keadaan seperti ini, aku semakin rindu untuk pulang. Bukan karena aku sudah bosan dengan menu buka puasa yang begitu-begitu saja atau dompet yang kian hari kian menipis. Akan kutegaskan sedikit, itu semua melainkan karena: Ini soal perasaan. Kau pasti tidak akan mengerti.

2 Comments: Kembali Dalam Balutan Rindu