Ini adalah sebuah cerita yang diangkat dari kisah novel yang berjudul Faith and The City milik Hanum Rais, lalu diadaptasi ke layar lebar dengan judul Hanum dan Rangga (2018). Ini menjadikan film tersebut menambah deretan film layar lebar Indonesia yang berlatar belakang Islam. Setelah sebelumnya sudah ada Bulan Terbelah di Langit Amerika, 99 Cahaya di Langit Eropa, Negeri 5 Menara dan masih banyak lagi.
Film Hanum dan Rangga sebelumnya dikabarkan akan tayang di tanggal 15 November 2018, lalu kemudian dimajukan ke tanggal 8 November 2018. Alasannya saya tidak tahu, tapi yang jadi menarik dari semua ini karena pada tanggal yang sama film A Man Called Ahok sudah dikabarkan lebih dulu akan tayang di tanggal tersebut.
Kenapa saya bilang menarik? Karena ke dua film tersebut sering kali digoreng oleh beberapa kubu. Tidak perlu saya jelaskan, kalian juga pasti sudah tahu. Bahkan di grup-grup WhatsApp banyak tersebar seruan pemboikotan film A Man Called Ahok, terkhusus bagi umat muslim. Yeah, it’s interesting! Tapi, di tulisan ini saya tidak bermaksud untuk membandingkan antara keduanya, ya karena film A Man Called Ahok belum saya nonton. Hal yang kita bahas cukup film Hanum dan Rangga, untuk film A Man Called Ahok mungkin di tulisan selanjutnya.
Apakah dunia akan lebih menjadi baik tanpa Islam?
Pertanyaan itu bisa dikatakan sebagai latar belakang dari film tersebut, di film ini diceritakan seorang wartawan (Hanum) yang ingin mengubah stereotip masyarakat di New York tentang apa itu Islam. Tapi ada hal yang saya rasa menjadi poin utama di film ini, yaitu kisah cinta antara Hanum & Rangga. Selebihnya adalah tentang impian dan karir Hanum.
Di sepanjang film saya cukup menikmati kisah yang disajikan. Walaupun kesalahan-kesalahan kecil bagi orang awam seperti saya ini masih bisa menangkap, contohnya saat Harum siaran live di stasiun televisi tempatnya bekerja, ia jelas-jelas menggunakan bahasa Indonesia sementara latar film tersebut berada di New York, penonton yang ditampilkan di film tersebut juga rata-rata bule dan seolah-olah mengerti padahal di layar televisi mereka sama sekali tidak ada subtitle-nya. Aneh kan? Tapi ya positif thingking aja, mungkin bulenya paham bahasa Indonesia.
Sementara itu, Samantha alias Samanto adalah tokoh yang sering kali membuat kita tergelitik. Tingkah-tingkahnya tak jarang membuat kita untuk tertawa, mulai dari awal ia muncul hingga sepanjang scene yang ia bawakan. Drama yang disajikan antara Hanum dan Rangga juga cukup membawa suasana penonton. Perjalanan penuh konflik mewarnai kisah mereka, tentang bagaimana mempertahankan sebuah hubungan.
Nah, dibagian endingnya ini saya rasa agak sedikit kurang, ada begitu banyak hal kebetulan yang terjadi. Tapi scene penutup diakhiri dengan sangat baik, cukup menyentuh. Kata-kata Rangga pun saya pastikan membuat dedek-dedek gemes baper parah dan tambah tidak sabaran untuk dilamar. Hiya Hiya Hiya...
Ditunggu review a man called ahok nya hahah
ReplyDeleteBeliin tiket. Hahaha.
Deleteea ea ea segera eksekusi mas.... si dedek emesss wekeke
ReplyDeleteAnjay, eksekusi apaan. Hahaha.
Delete